Nama Penulis :
Grawita Nugraha Cipta Manggala Eka Putra (15422108)[1]
Pendahuluan
Memulai
pembahasan kali ini dengan sebuah kabar yang beredar di sosial media beberapa pekan lalu. Kabar tersebut berasal dari pasangan mempelai pria dan wanita yang
melakukan prosesi akad nikahnya melalui video call. Kedua mempelai
tersebut bernama Briptu Andik dan Briptu Nova. Saat itu amanah pekerjaan yang
menghampiri mereka berdualah yang menghendaki mereka untuk melakukan prosesi
akad nikah via video call. Briptu Andik mengucapkan ijab Kabul di
Pontianak, Kalimantan Barat, sementara Briptu Nova berada di Cikeas, Bogor.[2]
Selengkapnya bisa menonton video rekaman dari Cikeas,
Bogor, tempat Briptu Nova bertugas yang sedang menonton live prosesi
akad nikah di Pontianak https://www.liputan6.com/regional/read/3495505/video-viral-polwan-nikah-lewat-video-call.
Teori
Semua
hal yang berpengaruh pada kehidupan bersosial, berpolitik, berbangsa,
bermasyarakat, bahkan beragama sekalipun sudah diatur di dalam Qur’an dan
Sunnah, dan juga ijtihad para ulama. Tinggal kita bersama dengan pemahaman yang
kita miliki untuk kembali kepada pedoman-pedoman tersebut. Begitu pun persoalan
pernikahan, semua telah terbahas di dalam fiqih munakahat.
Perkawinan ialah akad antara calon
isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Hakikat
nikah itu ialah akad antara calon laki-isteri untuk membolehkan keduanya
bergaul sebagai suami isteri.[3]
Dalam firman-Nya QS. An-nisa ayat 25 yang artinya: “Dan barangsiapa diantara
kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita
merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak
yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain[4],
Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin
mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri,
bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka Telah menjaga diri dengan kawin, Kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari
hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu,
adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Pernikahan
dalam Islam memiliki beberapa rukun dan syarat. Rukun dan syarat nikah
memengaruhi sah atau tidaknya pernikahan menurut Islam. Rukun nikah yang
disepakati oleh jumhur ulama terdiri dari lima hal. Lima rukun tersebut adalah ada mempelai pria (1), ada
mempelai wanita (2), ada wali nikah (3), adanya dua orang saksi (4),
dan ada ijab kabul (5). Mempelai pria dan wanita insyaa Allah sudah
paham semua, yakni sepasang manusia yang akan menjalin kasih sayang dalam
membentuk satu keluarga dan memenuhi ketaatannya kepada Allah dan RasulNya. Syariat
Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan
ijtihad para ulama yaitu:[5]
1. Syarat-syarat calon
mempelai pria:
a. Calon suami beragama
Islam
b. Terang (jelas) bahwa
calon suami itu betul laki-laki
c. Orangnya diketahui dan
tertentu
d. Calon mempelai laki-laki
itu jelas halal kawin dengan calon isteri
e. Calon mempelai laki-laki
tahu dan kenal pada calon isteri serta tahu betul calon isterinya halal
baginya.
f. Calon suami rela (tidak
dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu
g. Tidak sedang melakukan
ihram
h. Tidak mempunyai isteri
yang haram dimadu dengan calon isteri
i. Tidak sedang mempunyai
isteri empat.
2. Syarat-syarat mempelai
wanita:
a. Beragama Islam atau ahli
kitab.
b. Terang (jelas) bahwa ia
wanita, bukan khuntsa (banci)
c. Wanita itu tentu orangnya
d. Halal bagi calon suami
e. Wanita itu tidak dalam
ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa ‘iddah.
f. Tidak dipaksa dan
ikhtiyar.
g. Tidak dalam keadaan ihram
haji atau umrah[6]
Kemudian ada wali nikah, dimana wali
nikah adalah ayah kandung wanita, atau saudara laki-lakinya, atau kerabat
terdekat wanita, atau penerima wasiat dan lainnya yang sesuai dengan urutan ashabah
wanita tersebut. Adapun urut-urutan wali adalah[7] Saudara
laki-laki yang seayah seibu dengan dia (1), Saudara laki-laki yang
seayah dengan dia (2), Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu
seayah seayah dengan dia (3), Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang
seayah saja dengan dia (4), Saudara ayah yang laki-laki ( pamannya dari
pihak laki-laki ) (5), dan Anak laki-laki dari paman yang dari pihak
ayahnya yang sekandung kemudian yang seayah (6). Syarat seseorang
boleh dijadikan wali nikah adalah Muslim (1), Laki-laki (2),
Baligh dan berakal (3), Merdeka bukan sahaya (4), dan Bersifat
adil (5).
Kemudian adapula dua orang saksi
yang dimana memiliki syarat-syaratnya yaitu Laki-laki (1), Islam (2),
Baligh (3), Mendengar (4), Bisa berbicara dan melihat (5),
Berakal (6), dan Adil (7). Perlunya saksi dalam sebuah
perkawinan adalah menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan polisi atau orang
lain terhadap pergaulan mereka dan untuk menguatkan janji mereka berdua, begitu
pula terhadap keturunannya. Pada saat sekarang tidak hanya cukup saksi saja,
tetapi harus disertai surat nikah. Ini bukan merupakan syarat nikah, tetapi
hanya untuk menjaga kalau ada kesulitan, misalnya kalau kedua saksi tersebut
jauh tempatnya atau sukar dicarinya atau sudah mati.
Adapun syarat pernikahan dalam Islam
secara garis besarnya ada dua, yaitu:[8] Laki-laki
dan perempuan sah untuk dinikahi. Artinya kedua calon pengantin adalah orang
yng bukan haram dinikahi (1), dan akad dihadiri oleh para saksi (2).
Kemudian adalagi yang menjadi syarat
sahnya pernikahan agar akad nikah dapat dilakukan, yaitu jelas sighot ijab
dan kabul (1), kabul yang sesuai dengan ijab (2), dan akad yang
dilakukan pada satu majelis (waktu) (3).[9]
Terpenuhinya syarat dan rukun suatu
perkawinan, mengakibatkan diakuinya keabsahan perkawinan tersebut baik menurut
hukum agama dan fiqh munakahat atau pemerintah. Bila salah satu syarat atau
rukun tidak terpenuhi maka mengakibatkan tidak sahnya perkawinan menurut Fiqh
Munakahat.
Pembahasan
Berdasarkan
pada teori di atas sudah memenuhi pembahasan kita bahwasanya pernikahan melalui
media online merupakan hal yang harus diperhatikan, apakah sudah memenuhi
syarat dan rukun yang sudah disebutkan pada teori di atas. Kita kaitkan dengan
fenomena yang terjadi baru-baru ini di Indonesia bahwasanya pernikahan mereka
bukan berada di dalam satu majelis dan menurut sebagian ulama hal tersebut
diperbolehkan asalkan sudah terpenuhi semua syarat dan rukun yang tertera.
Seperti
pada saat itu, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Munajjid pernah ditanya dengan
pertanyaan serupa. Berikut redaksi pertanyaannya yang artinya:[10]
“Datang
seseorang kepadaku semenjak beberapa tahun silam. Dan aku memberikannya ijin
untuk menikahi aku. Dan telah terjadi proses nikah dengan perwakilan yang tidak
bisa aku hadiri. Akan tetapi ia (pengantin lelaki) ada dan ada pula dua orang saksi dan
seterusnya. Keluarga ku tidak menentang pernikahan ini akan tetapi mereka tidak
mengetahui bahwa akad nikah telah terjadi. Apakah pernikahan seperti ini sah?”
Beliau (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid)
menjawab :
“Segala
puji bagi Allah”
“Yang
pertama: Bukan merupakan keharusan bagi engkau untuk menghadiri akad
nikah, yang penting engkau sudah ridha dan itu cukup dibuktikan dengan ijin
tertulis.”
“Yang
kedua: Yang pokok adalah kehadiran walimu (wali nikah dari pihak
pengantin wanita) atau yang mewakilinya. Karena pernikahan dengan tanpa adanya
wali adalah pernikahan yang tidak sah berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam : ‘Tidak ada nikah dengan tanpa wali’ (HR. Abu Dawud : 2085,
Tirmidzi 1101, Ibnu Majah : 1102 dari hadis Abu Musa Al-As’ari dishahihkan oleh
Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).”
“Dan
berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Wanita mana saja yang
menikah dengan tanpa ijin walinya, maka nikahnya batal, batal, batal’ (HR.
Ahmad 24417, Abu Dawud : 2083, Tirmidzi : 1102, dishahihkan oleh Imam Al-Albani
dalam Shahihul Jami’ : 2079).”
“Pertanyaan
engkau: Keluargaku tidak menentang pernikahan ini namun mereka tidak mengetahui
telah terjadi akad. Difahami dari ucapan ini bahwa keluargamu tidak menghadiri
akad nikah, tidak dihadiri pula oleh wakilnya. Jika benar seperti itu maka
pernikahan ini tidak sah dan wajib bagi
engkau untuk mengulangi akad nikah dengan dihadiri oleh wali beserta dua orang
saksi.”
“Ini
jika engkau memiliki wali yang muslim, baik itu ayah, saudara lelaki atau wali
lainnya. Jika tidak ada wali muslim maka walimu adalah wali hakim, jika tidak
ada maka walimu adalah pimpinan yayasan dakwah atau imam masjid.”
“Dan
engkau tidak menyebutkan jenis agama apa yang dianut oleh keluargamu.
Berdasarkan hal ini, jika memang engkau tidak memiliki wali yang muslim maka
gambaran pernikahan yang sudah dilakukan tadi sah. Namun jika engkau memiliki
seorang wali muslim maka wajib akad nikah wajib diulangi dengan menghadirkan
wali atauorang yang menjadi wakilnya sebagai wakil dari wali tersebut. Wallahu
a’lam”
Penutup
Terima
kasih kami sampaikan kepada para pembaca tulisan ini, semoga bisa membuka
wawasan teman-teman untuk bisa menggali ilmu dan barokah dalam pencariannya.
Tidak luput kami juga ingin menyampaikan permohonan maaf bilamana banyak dari
penulisan maupun karya tulis orang lain yang sudah kami muat sebagai referensi
namun masih ditemukan kekeliruan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kepada
teman sekalian, jikalau ingin memberikan kritik dan sarannya terhadap tulisan
ini, kami sampaikan jazakumullahu khayraa, karena kritik dan saran kalian
sangat membantu tulisan ini lebih baik dari sebelumnya.
Referensi
Al Bayati, Abu Asywad. 2016. “Akad
Ijab Qabul Tanpa Kehadiran Pengantin Wanita di Majelis Akad” https://bimbinganislam.com/akad-ijab-qabul-tanpa-kehadiran-pengantin-wanita-di-majelis-akad/. Fatwa Islam Soal Jawab no. 82266. diakses pada tanggal 20 Juli 2018.
Haningsih, Sri. 2017. Buku Ajar
Fiqh Mu’amalat Munakahat Mawaris. Cet. 1. Yogyakarta: UII.
Kangsaputra, Leonardus Selwyn. “Kisah Haru Polwan yang Menikah via Video Call, Videonya Viral!” https://lifestyle.okezone.com/read/2018/04/30/196/1892873/kisah-haru-polwan-yang-menikah-via-video-call-videonya-viral. Jurnal. diakses pada tanggal 19 Juli 2018.
Wati, Husna. 2016. “Pernikahan melalui Media Online dalam Perspektif Fiqh Munakahat” http://eprints.radenfatah.ac.id/290/. Skripsi. Palembang: UIN Raden Fatah.
[1]Grawita N.C.M. Eka Putra, Mahasiswa prodi
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2015.
[2] Leonardus Selwyn Kangsaputra, “Kisah Haru Polwan yang Menikah via Video Call, Videonya Viral!”, https://lifestyle.okezone.com/read/2018/04/30/196/1892873/kisah-haru-polwan-yang-menikah-via-video-call-videonya-viral , Jurnal, diakses pada tanggal 19 Juli 2018.
[3] Sri Haningsih, Buku Ajar Fiqh Mu’amalat
Munakahat Mawaris, (Yogyakarta: UII, 2017), hal. 57.
[4] Maksudnya: orang merdeka dan budak yang
dikawininya itu adalah sama-sama keturunan Adam dan hawa dan sama-sama beriman.
[5]
Husna Wati, “Pernikahan melalui Media Online dalam Perspektif Fiqh
Munakahat” http://eprints.radenfatah.ac.id/290/
, Skripsi, (Palembang: UIN Raden Fatah, 2016), hal. 24-25.
[6]
Ibid, hal 24-25.
[7]
Sri Haningsih, Buku Ajar Fiqh
Mu’amalat Munakahat Mawaris, Cet. 1 (Yogyakarta: UII, 2017), hal. 63-64.
[8]Husna
Wati, Skripsi, hal. 1.
[9]
Ibid, hal. 2.
[10] Abu Asywad Al Bayati, “Akad Ijab Qabul Tanpa
Kehadiran Pengantin Wanita di Majelis Akad” https://bimbinganislam.com/akad-ijab-qabul-tanpa-kehadiran-pengantin-wanita-di-majelis-akad/, Fatwa Islam Soal Jawab no.
82266, diakses pada tanggal 20 Juli
2018.